Dari Abu Sa’id Al Khudzri Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda :”Jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka
hendaklah dia menghadap sutrah dan hendaklah dia mendekati sutrah
tersebut. Janganlah membiarkan seorangpun lewat diantara dirinya dan
sutrah. Jika masih ada seseorang yang lewat, maka hendaklah dia
memeranginya. Karena sesungguhnya dia itu adalah setan.” (HR: Ibnu Abi
Syaibah di Al Mushannaf (I/279), Abu Dawud no: 697, Ibnu Majah no: 954, Ibnu Hibban (IV/48 dan 49), Baihaqi (II/267). Hadits Hasan).
Dari Sahl ibn Abi Hatsamah Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda :”Apabila salah seorang dari kalian shalat di hadapan sutrah,
maka hendaklah dia mendekatinya. Maka setan tidak akan memotong
shalatnya.” (HR: Ibn Abi Syaibah (I/279), Ahmad (IV/2), Al Thayalisi no:
379, Al Humaidi (I/196), Abu Dawud no: 695, An Nasaa’I (II/62),dll.
Hadits Shahih).
Dari Qarrah bin Iyas, dia berkata : “Umar melihat aku sedang shalat
di antara dua tiang. Dia langsung memegang leherku dan mendekatkan aku
ke sutrah sambil berkata: Shalatlah di hadapan sutrah!” (HR: Bukhari
(I/577). Al Hafidz Ibn Hajar berkata : “Umar melakukan hal itu dengan
maksud agar shalat Qarrah bin Iyas berada di depan sutrah.” (Fathul Bari I/577).
Dari Nafi’, dia berkata: “Apabila Ibn Umar Radhiyallahu ‘anhu
tidak lagi menemukan tiang masjid yang bisa dijadikan sutrah untuk
shalat, maka dia akan berkata kepadaku: “Hadapkanlah punggungmu
dihadapanku.” (HR: Ibn Abi Syaibah I/279. Sanad Shahih).
KETENTUAN HUKUM SUTRAH :
1. Kesalahan orang yang shalat yang tidak menghadap atau meletakkan
di hadapannya sutrah, walaupun dia aman dari lalu-lalangnya manusia,
atau dia berada di tanah lapang. Tidak ada bedanya antara di kota
Makkah ataupun di tempat lainnya, dalam hukum tentang sutrah ini
bersifat mutlak.( Lihat sandaran orang yang mengatakan, bahwa di Mekkah
tidak ada sutrah, bahwasanya dibolehkan –di sana- berjalan melewati di
hadapan orang-orang yang sedang shalat. Dan bantahan akan pernyataan
ini terdapat dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal-Maudhu’ah, no. (928) dan kitab Ahkam as-Sutrah fi Makkah wa Ghairiha
(hlm. 46-48) dan mengaitkan orang yang lewat di depan orang yang shalat
dengan keadaan darurat merupakan perkara yang sifatnya sebagai
alternatif, khususnya ketika berada di dalam keadaan yang sangat
berdesak-desakan. Telah berkata al-Hafidz Ibnu Hajar tentangnya dalam al-Fath (1/ 576). Wallahu ‘alam).
2. Sebagian ulama mensunnahkan orang yang shalat untuk meletakkan
sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan dengan
tepat ke arah kiblat (Zaadul Ma’ad I/305). Yang demikian ini tidak ada dalilnya yang shahih, namun kesemuanya itu boleh.
3. Ukuran sutrah yang mencukupi bagi orang yang shalat, sehingga dia
bisa menolak bahayanya orang yang lewat, adalah setinggi pelana kuda
(2/3 dzira’).Sedangkan orang yang mencukupkan sutrah yang
kurang dari ukuran itu dalam waktu yang longgar tidak diperbolehkan.
Dan dalilnya dari Thalhah, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda: “Jika salah seorang dari kalian telah meletakkan tiang
setinggi pelana di hadapannya, maka hendaklah ia shalat dan janganlah
ia memperdulikan orang yang ada di belakangnya.”(HR: Muslim no: 499).
Dari ‘A`isyah -radhiyallahu ‘anha-, dia berkata: “Pada waktu perang Tabuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-
ditanya tentang sutrahnya orang yang shalat, maka beliau menjawab:
“Tiang setinggi pelana.” (HR: Muslim no: 500). Dan dari Abu Dzar, dia
berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian berdiri melakukan shalat, maka
sesungguhnya dia telah tertutupi jika di hadapannya ada tiang setinggi
pelana. Jika tidak ada tiang setinggi pelana di hadapannya, maka
shalatnya akan diputus oleh keledai, perempuan atau anjing hitam.” (HR:
Muslim no: 510).
Ukuran pelana adalah sepanjang 1 (satu) hasta atau dzira’.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta
Nafi’. Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai ke ujung jari
tengah. Dan ukurannya kurang lebih: 46,2 cm. Telah tetap, bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-
shalat menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui
keduanya adalah benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini
menguatkan, bahwa yang dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta adalah
pada tingginya, bukan lebarnya.
4. Dalam shalat berjama’ah, makmum itu tidak wajib membuat sutrah,
sebab sutrah dalam shalat berjama’ah itu terletak pada sutrahnya imam.
(Diambil dari Kitab Al Qawl al Mubiin fi Akhtha al Mushallin, oleh
Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman, dan Kitab Sifat
Shalat Nabi oleh Muhammad Nashiruddin Al Albani).