Kala itu kami berbicara tentang Ramadhan. Para pemirsa televisi bisa
melihat dari sela-sela jendela kamar di belakang kami pemandangan
orang-orang yang umrah dan thawaf secara langsung.
Kala itu pemandangannya sungguh mengagumkan dan mengharukan, membuat
pembicaraan pun semakin berkesan. Hingga pembawa acara menjadi lembut
hatinya, dan menangis di tengah halaqah itu. Sungguh suasana itu adalah
suasana keimanan, dan tidak merusak suasana itu kecuali salah satu
cameramen. Dia memegang kamera dengan satu tangan, dan tangan yang
kedua memegang “Tuhan Sembilan Senti” menurut istilah Penyair Taufik
Ismail (tambahan redaksi), yaitu rokok. Seakan-akan tidak ada satu
waktu yang tersia-siakan dari malam bulan Ramadhan kecuali dia
kenyangkan paru-parunya dengan asap rokok.
Hal ini banyak menggangguku. Penghisap rokok itu benar-benar
mencekikku, tetapi harus bersabar, karena itu adalah siaran langsung,
dan tidak ada alasan, kecuali terpaksa melaluinya.
Berlalulah satu jam penuh, dan berakhirlah kajian itu dengan salam.
Kameramen itu pun mendatangiku –sementara rokok masih ada di tangannya-
sembari dia mengucapkan terima kasih dan memuji. Maka kukeraskan
genggaman tanganku dan kukatakan, “Anda juga, saya berterima kasih atas
keikutsertaan anda dalam menyunting acara keagamaan ini. Saya memiliki
satu kalimat, barangkali anda mau menerimanya.”
Dia pun menjawab, “Silahkan…silahkan.”
Kukatakan, “Rokok dan siga…” (maksudnya sigaret),
Namun dia memutus pembicaraanku seraya berkata, “Jangan menasehatiku…Demi Allah, tidak ada faidahnya wahai Syaikh.”
Kukatakan, “Baik, dengarkan saya… Anda tahu bahwa rokok haram, dan Allah berfirman…”
Dia pun memotong pembicaraanku sekali lagi, “Wahai Syaikh, janganlah
menyia-nyiakan waktu anda… saya telah merokok selama 40 tahun… rokok
telah mengalir dalam urat nadi saya… tidak ada faidah… selain anda lebih
pandai lagi…!!”
Kukatakan, “Apa yang ada faidahnya?”
Dia pun merasa tidak enak dariku lalu berkata, “Doakanlah saya… doakanlah saya.”
Maka aku pun memegang tangannya seraya berkata, “Mari bersama saya…”
Kukatakan, “Mari kita melihat kepada Ka’bah.”
Maka kami pun berdiri di sisi jendela yang bisa melongok di atas al
Haram. Dan ternyata setiap jengkalA dipenuhi dengan manusia. Antara yang
ruku’, sujud, yang sedang umrah, dan sedang menangis. Sungguh
pemandangan yang sangat mengesankan. Kukatakan, “Apakah anda melihat
mereka?”
Dia menjawab, “Ya.”
Kukatakan, “Mereka datang dari setiap tempat, yang putih, yang
hitam… orang Arab dan Ajam… yang kaya yang miskin… semuanya berdoa
kepada Allah agar menerima ibadah mereka dan mengampuni mereka…”
Dia menjawab, “Benar… benar…”
Kukatakan, “Tidakkah anda menginginkan Allah memberikan kepada anda apa yang Dia berikan kepada mereka?”
Dia menjawab, “Ya… tentu saja.”
Kukatakan, “Angkatlah tangan anda, saya akan berdoa untuk anda… dan aminilah doa saya.”
Aku pun mengangkat kedua tanganku lalu kukatakan, “Ya Allah, ampunilah dia…”
Dia berkata, “Aamiin.”
Aku berdoa, Ya Allah, angkatlah derajatnya, dan kumpulkanlah dia
bersama dengan orang-orang yang dikasihinya di dalam sorga… Ya Allah…”
Dan tidak henti-hentinya aku berdoa hingga hatinya lembut dan menangis… seraya mengulang-ulang, “Aamiin… aamiin…”
Tatkala aku ingin menutup doa kukatakan, “Ya Allah, jika dia
meninggalkan rokok, maka kabulkanlah doa ini, jika tidak, maka haramkan
dia terkabulnya doa ini.”
Maka pecahlah tangisan laki-laki tersebut, sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan keluar dari kamar tersebut.
Berbulan-bulan telah berlalu, aku pun diundang lagi di studio
televisi tersebut untuk melakukan siaran langsung. Saat aku masuk ke
bangunan tersebut, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang tampak taat
beragama menemuiku, kemudian dia mengucapkan salam dengan hangat, lalu
mencium kepalaku, dan merendah meraih kedua tanganku untuk menciumnya,
dan sungguh dia sangat terkesan.
Kukatakan kepadanya, “Mudah-mudahan Allah mensyukuri kelembutan dan
adab anda… saya sungguh menghargai kecintaan anda… akan tetapi maaf,
saya belum mengenal anda…”
Maka dia berkata, “Apakah anda masih ingat dengan cameramen yang
telah anda nasihati untuk meninggalkan rokok dua tahun yang lalu?”
Kujawab, “Ya…”
Dia berkata, “Sayalah dia… Demi Allah wahai Syaikh… sesungguhnya aku tidak pernah meletakkan rokok di mulutku sejak saat itu.”
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.